Minggu, 07 Mei 2017

Urutan Kerajaan Minangkabau dalam Tambo

Minangkabau adalah sebuah wilayah kedaulatan hukum adat, didalamnya berhimpun masyarat yang diatur dalam aturan-aturan sosial yang mengikat. Sebelum akhirnya terbagi atas wilayah luhak nan tigo (Tanahdatar, Agam, Limopuluah Koto), darek hingga rantau pesisir, masing-masing daerah diatur Pangulu, Manti, Malin, Dubalang, dahulu Minangkabau berdaulat dalam sistem kerajaan. Bahkan sistem kekuasaan ini sudah dimulai sejak rezim Dt.Sru Maharajo Dirajo, berlanjut ke kepemimpinan Dt.Katumanggungan dan Dt.Parpatih Nan Sabatang, terakhir Kerajaan Pagaruyung.



Dalam perjalanan panjang sejarah kerajaan Minangkabau, pun diwarnai beragam dinamika, sampai akhirnya kerajaan Minangkabau tinggal cerita pasca masuknya infasi infasi dari luar, hingga dismbut rezim penjajahan belanda. Tak terkecuali masuknya intervensi kaum agama serta-merta membuat sistem adat harus disesuaikan dengan keadaan, dikukuhkan lewat sebuah persumpahan yang bernama sumpah sati marapalam.

Sekadar diketahui oleh generasi ke generasi, sesungguhnya Minangkabau tercinta ini dahulu pernah memiliki kerajaan sebagai pusat jalo pengaturan sistem adat, gaya hidup, hingga keselarasan. Konon dahulu Istana Minangkabau berdiri sedemikian megah dengan atap lancip menjulang ke langit (bagonjong) sebagai simbol keagungan, terbuat dari kayu. Lebih megah dari Istano Basa Pagaruyung sekarang di Limakaum, Tanahdatar.

Berikut urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau.

1 Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
2 Kerajaan Pariangan Padang Panjang
3 Kerajaan Dusun Tuo  yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
4 Kerajaan Bungo Sitangkai
5 Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
6 Kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Bungo Satangkai

Setelah Kerajaan Pasumayam Koto Batu berakhir dengan Rajanya Sri Maharajo Dirajo, kemudian digantikan oleh Dauk Suri dirajo, maka selanjutnya muncul dua orang pemimpin baru yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.



Sebagaimana diriwayatkan dalam Tambo Minangkabau, kedua orang tokoh ini adalah bersaudara, seibu berlainan Bapak. Dt.Katumanggungan merupakan anak dari  Dt.Sri Maharajo Dirajo, sedangkan Dt. Parpatih Nan Sabatang anak dari Cati Bilang Pandai atau Dt.Suri Dirajo. Ibu mereka tak lain Puti Indo Jalito alias Bundo Kanduang.

Karena terjadinya perselisihan faham dengan adiknya, Dt. Parpatih Nan Sabatang, ditambah pertumbuhan penduduk kian kian meningkat mendiami perkampungan, akhirnya Dt.Katumanggungan memutuskan mencari daerah baru. Perjalanan itu kebetulan dilakukan secara berombongan.

Sampai pada masanya rombongan Dt. Katumanggungan terhenti pada suatu daerah, alamnya terasa elok, subur,  dan masyarakat di sana pun ramah. Maka rombongan Katumanggungan merasa cukup nyaman untuk tinggal disana, hingga peradaban baru mulai dikembangkan di tanah baru itu, persisnya di daerah Sungai Tarab.

Demi mempertahankan kebesaran sebagai Putra Mahkota Dt. Sri Maharajo Dirajo, selanjutnya Datuk Katumanggungan mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan dipercayakan pada Datuk Banadaro Putieh.

Seiring waktu Kerajaan Bungo Satangkai makin berkembang, sistem kedaulatannya bernama Koto Piliang. Kedaulatan ini juga oleh masyarakat minangkabau disebut keselarasan.

Daerah kekuasaan Kerjaan Bungo Satangkai meliputi Langgam Nan Tujuh.

Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinann Dt.Katumanggungan tetap bertahan dengan undang-undang lama semasa Pasumayan Koto Batu, yakni Undang si Mumbang Jatuh

Berbeda dengan Adiknya selaku pemimpin Kerajaan Dusun Koto Tuo, sempat dilakukan perubahan Undang undang Si Mumbang jatuah menjadi Undang-undang Si Lamo-lamo. Dimans sesuatu keputusan yang akan diambil terlebih dahulu diperhitungkan masak-masak, baik secara mudarat  atau memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat langsung dilaksanakan, tetapi harus diberi Tenggang Waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.

Atas perbedaan faham tersebut, akhirnya memicu perselisihan antara Dt.Katumanggungan dengan Dt.Parpatih Nan Sabatang.  Beruntung perselisihan ini dapat diredam berkat masukan para cerdik pandai, hingga dikukuhkan dengan ikrar bersama yang ditandai oleh prasasti Batu Batikam.

Dalam perdamaian itu juga disepakati bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh wilayah kedaulatan Minangkabau, Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama boleh menerapkannya.

Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-undang si Lamo-lamo diganti dengan Undang-undang Tariek Baleh. Sebagai contoh Undang-undang Tariek Baleh ini adalah:

Salah tariek mangumbalikan
Salah cotok malantiengkan
Salah makan mamuntahkan

Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya Undang-undang Tariek Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai Hukum Adat di Nagari-nagari pada saat sekarang.

Perlu diketahui bahwa semasa Kerajaan Bungo Satangkai dibawah kepemimpinan Dt. Katumanggungan, telah mulai disusun aturan adat Minangkabau untuk selanjutnya menjadi pegangan hidup masyarakat. Disinilah cikal-bakal lahirnya peradaban Minangkabau, dari sebelumnya tak beraturan menjadi berdaulat. Disusul program melatieh, mancancang, manaruko terhadap hamparan gurun dan rawa untuk dijadikan sawah dan ladang. (Red)

(Disadur dari; bakalaha02.blogspot.co.id.

Kamis, 04 Mei 2017

Kerajaan Pasumayan Koto Batu

Kerajaan Pasumayan Koto Batu adalah kerajaan tradisional yang pertama berdiri di wilayah Minangkabau. Kerajaan ini mempunyai pusat pemerintahan di wilayah sekitar lerengGunung Marapi yang kemudian dikenal dengan namaPariangan dan Padang Panjang. Sedangkan wilayah kekuasaan kerajaan Pasumayan Koto Batu hanya disebutkan dalam Tambo secara kiasan tanpa dapat dijelaskan di mana sebenarnya nama-nama yang disebutkan.



Sejarah 

Pada abad 1 Masehi, telah terjadi migrasi orang-orang dari anak benua India (India Selatan) menuju Pulau Percha (pulau Sumatera) lalu mendirikan kerajaan yang bernama kerajaan Pasumayan Koto Batu di sekitar lereng Gunung Merapi.[1]Rajanya bergelar Sri Maharajo Dirajo dengan permaisurinyaPuti Indo Jolito dan anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan gelar Datuk Ketumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh Datuk Suri Dirajo, sedangkan istrinya kembali menikah dengan Cati Bilang Pandai (penasehat ahli Sri Maharajo Dirajo) dan melahirkan tiga orang anak: Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam, dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Struktur pemerintahan

Dewan pertimbangan Kerajaan Pasumayan Koto Batu dipimpin oleh Sri Dirajo (Datuk Suri Dirajo). Hukum yang diterapkan di tengah masyarakat disebut sebagai Undang-undang Simumbang Jatuh yang terdiri atas dua bagian yaitu Si Gamak-gamak (atau Tariak Baleh) dan Si Lamo-lamo. Penerapan hukum tersebut diserahkan sepenuhnya kepada penguasa, di mana penguasa dalam menjatuhkan hukumannya hanya berdasarkan perasaan atau berdasarkan keyakinannya sendiri.

Balai Nan Panjang di Nagari Tabek, kecamatan Pariangan,kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang saat ini dijadikan sebagai Situs Kepurbakalaan.

Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Saruang. Di Balai Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan. Kemudian didirikan juga Balai Nan Panjang, Balai Pasujian, dan Balai Kaciak.[2] Balai Saruanghanya terdiri dari satu ruang, sedangkan Balai Nan Panjangterdiri dari 17 ruang.

Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Ketumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang. Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa, namun kemudian disempurnakan oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Keduanya lalu dianggap oleh orang Minangkabausebagai pendiri adat Koto Piliang yang aristokratis dan adat Bodi Caniago yang demokratis. Tidak mengherankan kalau nama Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tidak dapat dilupakan oleh orang Minangkabau.[3]

Akhir pemerintahan

Setelah Kerajaan Pasumayan Koto Batu berakhir, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan dua bersaudara se-ibu lain ayah mendirikan kerajaan baru. Datuk Ketumanggungan mendirikan Kerajaan Bungo Setangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan (perdana menteri) adalah Datuk Bandaro Putiah. Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang mendirikanKerajaan Dusun Tuo di Lima Kaum dan sebagai yang dipertuan adalah Datuk Bandaro Kuniang. Kerajaan Pasumayan Koto Batu tidak diteruskan karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang ketika berdebat mengenaiUndang-undang Tarik Baleh yang mengatur "siapa yang membunuh akan dibunuh". Walaupun demikian, perselisihan tersebut dapat didamaikan oleh Datuk Suri Nan Banego-nego yang ditandai dengan tikaman sebuah tongkat di sebuahbatu yang disebut Batu Batikam.[4]

Referensi

^ Idris, Abdul Samad (1990). Payung Terkembang. Kuala Lumpur: Pustaka Budiman.^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Padang: Citra Budaya Indonesia.^ Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung, 25 Oktober 2009. Diakses pada 20 Desember 2011.^ Armaini, Ermaleli, dan Muzzamil (2004). Budaya Alam Minangkabau. Untuk SD Kelas 5. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Silek dalam Tambo

Kelahiran Silek Minang terjadi pada saat yang bersamaan dengan kelahiran Minangkabau itu sendiri. Silek didirikan oleh Datuak Marajo Panjang dari Padang Panjang dan Datuak Bandaharo Kayo dari Pariangan. Dari pemikiran Datuak Marajo Panjang dan Datuak Bandaharo itulah lahir tiga hukum asli yaitu:

1. Hukum Simumbang Jatuah

2. Hukum Sigamak – Gamak

3. Hukum Silamo – Lamo

Ketiga undang-undang tersebut menjadi standar hukum bagi kedua Datuak (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan), yang disebut disebut “Bajanjang Naiak Batanggo Turun“.

Pada waktu itu Datuak Suri Dirajo menciptakan ilmu pertahanan diri yang dikenal sebagai “Silek”. Sebelumnya, Datuak Suri Dirajo mewarisi ilmu bela diri (bukan silek) dari sang ayah Cati Bilang Pandai dan Sultan Maharajo Dirajo, ilmu pertahanan diri yang diwarisi oleh ayahnya disebut “Gayuang”.


Gayuang adalah ilmu bela diri yang digunakan untuk melawan atau untuk mengalahkan saingannya, sementara Gayuang terdiri dari dua macam. Gayuang Fisik dan Gayuang Mental. Apa yang dimaksud dengan “Gayuang Lahir” (Gayuang fisik) adalah menendang dengan tiga kaki untuk membunuh target atau lebih baik, yang dikenal dengan “Duo Sajangka Jari” (dua jari sepengukuran).

Dan target adalah diseluruh leher (jakun), pusar, dan kedua atas kaki atau kemaluan. Target ini telah menjadi sumber utama penciptaan Silek. Ilmu Gayuang Angin (Mental) adalah teknik berkelahi untuk mengalahkan lawan dengan sumber kekuatan mentalitas ke tiga sasaran penting dalam tubuh. Jantung, kelenjar getah bening dan hati. Ada juga memerangi mental lain, hal ini tidak disebut “Gayuang” karena itu digunakan beberapa alat atau media lain. Bentuk ilmu bisa bervariasi. Sijundai, Tinggam, Sewai, Parmayo dan sebagainya.
Ilmu ini masih disimpan oleh orang-orang tua Minangkabau sampai dengan saat ini yang dikenal sebagai tabungan ilmu (Panaruahan).

Di samping “Gayuang ilmu” yang dimiliki oleh Datuak Suri Dirajo, ia juga mewarisi ilmu pertahanan diri dari empat pengikut Sultan Maharajo Dirajo yaitu Kuciang Siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim.

Kuciang Siam

Kuciang Siam adalah Pengikut Sultan Maharajo Dirajo yang disebut Ko-Chin yang berasal dari Siam sekarang disebut Muangthai (Thailand). Ko-Chin dihormati karena ilmu pertahanan diri yang dimilikinya mewakili gerakan kucing dan juga karakteristik kucing.

Harimau Campo

Harimau Campo atau Harimau Campa, adalah pengikut Sultan Maharajo Dirajo yang datang dari Kamboja dan nama itu dihormati karena ilmu pertahanan diri yang dimilikinya benar-benar buatan dari gerakan harimau.

Kambiang Hutan

Kambiang Hutan, yang nama aslinya Kan-Bin, adalah ahli bela diri dari Cambay di Malabar utara, dari gerakan pembelaan dirinya gerakan seupa kambing, ia dihormati dengan nama Kambiang Hutan.

Anjiang Mualim

Disebut Anjiang Mualim karena ilmu pertahanan diri serta strategi berperang untuk mengalahkan saingan dengan meniru gerakan anjing. Nama aslinya adalah An-Jin, yang berasal dari selatan Hindi atau Persia dan kata Mualim di sini berarti navigator.

Untuk Datuak Suri Dirajo semua ilmu warisan itu adalah satu dengan hasil yang berbeda dari yang asli. Ilmu ini kini dikenal dengan Silek Usali (Silek asli), setelah dikenal sebagai bangsal Silek Tuo (Silek Lama).

Pembangunan Silek

Perkembangan Silek dimulai seiring dengan perkembangan tanah Minangkabau itu sendiri. Perkembangan tanah Minangkabau disebabkan oleh berkembang biaknya penduduk Pariangan pada waktu itu. Sultan Maharajo Dirajo memerintahkan pengikutnya untuk memimpin tim dalam misi pembangunan di daerah itu.

Pada saat itu kelompok-kelompok dipimpin oleh:

Harimau Campo ditugaskan untuk membawa kelompok untuk Luhak AgamKambiang Hutan ditugaskan untuk tinggal Luhak LimapuluhKuciang Siam diarahkan ke wilayah LasiAnjiang Mualim membawa kelompok ke wilayah rantau.

Seiring pembangunan daerah terjadi pula perkembangan pendidikan “silek” Minangkabau. Namanya tidak lagi Silek Tuo Silek Usali, tetapi saat ini bervariasi berdasarkan nama wilayah (daerah) dan guru.

Sama seperti Silek Harimau Campo, Kambiang Hutan, Anjiang Mualim, Kuciang Siam, ada juga silek yang dikembangkan sesuai dengan pembangunan daerah seperti Silek Pakiah Rabun, Silek Lintau, Silek Inyiak Uban, Silek Starlak, Batu Mandi, Kumango, Silek Pauah, dan sebagainya.

Disamping Silek, Minangkabau selalu mengikuti perkembangan daerah (wilayah) dan ilmu pengetahuan.

Pada prinsipnya, sumber Silek Minangkabau berasal dari sumber tunggal yang dibuat oleh Datuak Suri Dirajo. Dan perkembangan wilayah Minangkabau menjadi lebih besar yang dinyatakan dalam sejarah bahwa Minangkabau timur adalah wilayah Melayu lama (Melayu tua) di utara Sriwijaya.

Hal ini didukung oleh pendeta Buddha, I’Tsing dalam perjalanan pulang ke Cina dari perjalanan ke India tahun 671. Hal yang paling menarik untuk sementara I’Tsing adalah perjalanannya ke ibukota daerah “Mo – Lo – Yoe” (Melayu) yang berada di lembah Waktu Kampar dan sungai-sungai Kampar Kanan pada siang hari di mana ia telah berhenti di kepalanya sendiri bayangan, yang berarti itu terletak di bawah garis khatulistiwa.

Selain perkembangan Silek Minangkabau yang telah dikembangkan serta perkembangan daerah baru, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penugasan tim untuk mengembangkan wilayah oleh Datuak Suri Dirajo dan Datuak Nan Baduo (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan) ilmu Silek Minangkabau telah bervariasi.

Ilmu Silek Harimau Campo

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Harimau Campo adalah komandan yang memimpin tim ke daerah Luhak Agam. Karena akrab dengan masyarakat Minangkabau di Agam, anak dari Luhak Agam disebut macan. “Harimau Campo” juga mengajarkan Silek Tuo (Silek yang asli) kepada generasi yang secara dominan diwarnai dengan gerakan imitasi harimau dari daerah asalnya.

Ilmu Silek Kuciang Siam

Selain ilmu Silek Minangkabau yang dikembangkan di Canduang Lasi oleh Kuciang Siam dari generasi ke generasi. Secara umum masih Silek Tuo (Silek tua), tetapi pada dasarnya gerakan dominan dengan gerakan kucing, sebagai hewan peliharaan rumah untuk melindungi dari gangguan tikus.

Gerakan kucing sangat lembut dan tenang tapi berbahaya jika tertangkap olehnya. Ketika merasa diri di dihancurkan, yang pertama jatuh adalah kakinya dan tidak akan nyenyak, seperti tidak menginjak tanah. Dalam gerakan Silek, ada gerakan yang disebut “Jatuah Kuciang” berarti jatuh ke bawah seperti kucing.

Ilmu Silek Kambiang Hutan

Kan-Bin atau Kambiang Hutan yang berasal dari Cambay Malabar utara juga mewarisi ilmu atau Silek Tuo Silek Usali oleh Datuak Suri Dirajo. Ilmu Kambiang Hutan Silek dikembangkan di daerah Luhak Lima Puluh Kota, yang cirinya semacam ini bertindak lebih Silek gerakan menggunakan tangan di samping itu juga menggunakan memukul kepala dan kaki persimpangan tak terduga oleh lawan.

Ilmu Silek Anjiang Mualim

Anjing Mualim yang berasal dari Hindi selatan Persia atau Gujarat mengembangkan ilmu Silek Rantau Pesisir (wilayah rantau). Ketika kami anggap sudah seharusnya keberadaan Bukit Barisan (pegunungan) membentang dari Utara ke Selatan Barat Timur, dan dari pemerintah pusat ke Selatan bisa melihat etnis pegunungan dimulai dari Angkola, Mandailing, Minangkabau, Lebong, Rawas, Pasaman, gunung Marapi, gunung Seblat, gunung Kaba, dan Gunung Dempo, serta sungai mengalir dan pergi ke muara ini Pantai Timur Sumatera. Ini adalah daerah tempat An- Jin memimpin bagi pembangunan daerah asing serta tumbuh dari masyarakat. Semacam ini digunakan Silek gerakan pertempuran dan pertahanan dalam bentuk lingkaran.

Silek Usali (Silek Tuo) Silek Lama

Ilmu gayuang milik Datuak Suri Dirajo dan kombinasi dengan tiga jenis Silek di atas, adalah menciptakan Silek jenis bervariasi dari pertahanan diri dari Tanah Basa (India Selatan). Menangkap semacam ini disebut Silek begitu Silek Langkah Tigo (langkah tiga Silek) atau Silek Usali daripada yang bernama Silek Tuo, pada dasarnya adalah sumber utama Gayuang atau paling terkenal dengan sasaran “Sajangka Duo Jari”

Sasaran
Sasaran (target) adalah tempat untuk mengajarkan murid (Anak Sasian) dari Silek. Ada beberapa cara atau beberapa persyaratan yang harus dilakukan terlebih dahulu sesuai dengan “Alua jo Patuik”, diantaranta berdarah pada sasaran dengan darah ayam.

Pendidikan berbasis Silek ” Tau di Garak jo Garik” (mengerti gerak gerik) yang memerlukan kesadaran dan keputusan yang solid sebagai nasihat sebagai berikut:

Tahu dibayang kato sampai

Tahu di tunggua kamanaruang

Tahu dirantiang kamalantiang

Alun bakilek alah bakalam

Artinya:
Tahu apa yang sedang dikatakan

Tahu apa yang bahaya

Tahu apa yang akan terluka

Berpikir secara mendalam sebelum suatu tindakan

Syarat menjadi “Pandeka” (Pendekar) adalah mengetahui dari Garak jo Garik (tujuan dan tindakan). Garak di Minangkabau tidak berarti tindakan, ini berarti suatu tujuan atau isyarat. Atau dapat dikatakan dalam perasaan, sementara Garik berarti tindakan yang dapat terlihat sehingga dapat dihindari, dihentikan, ditangkap atau dikunci.

Pengaruh hukum adat adalah begitu kuat di Minangkabau yang benar-benar membantu dalam pembentukan jiwa Pendekar Minangkabau seperti:

Yang bajanjang batanggo turun naiak

Batatah babarih, jauah buliah ditunjuakkan

Dakek buliah dipacikkan, cancang mamampeh

Ndak lapuak dek hujan, ndak lakang dek paneh

Yang berarti:

– Hormat

– Penuh kepercayaan

– Kejujuran

– Loyalitas

Silek Dan Perkembangan Agama Islam

Setelah Agama Islam menyebar dengan cepat di tanah Minangkabau, perkembangan Silek maju dengan cepat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Perkembangan Silek menyeberang ke Negeri Sembilan (Malaysia). Hal ini dapat dibuktikan oleh orang-orang Minangkabau pertama yang tiba di Negeri Sembilan, Datuak Raja dengan Tok Seri, dan dilakukan sebuah desa bernama Kampung Galau, yang diikuti oleh Datuak Raja dari keluarga Datuak Bandaharo Pangulu Alam dan tinggal di desa Sungai Layang.

Pada periode berikutnya diikuti oleh Sutan Sumaniak dan Johan Kebesaran dan berdiam di Gunung Pasir, dan demikian juga Datuak Putiah dan Sari Lamak yang akhirnya berdiam di Seri Menanti.

Raja pertama yang memerintah di Malaka pertama adalah Raja Malewar (1773 – 1795) dan dari sini kita bisa membandingkan bahwa ilmu Silek dari orang malayu yang kata mereka ilmu tentang Silek “Seni Gayong” (Gayuang) berasal dari Minangkabau, yang telah berubah sesuai dengan waktu dan daerah.

Perkembangan Setelah Reformasi Silek Islam

Pada masa keruntuhan Kerajaan Minangkabau ada juga reformasi pada ilmu Silek Minangkabau. Islam (Syi’ah) yang dikembangkan di Minangkabau tahun 1150. tiga haji muda Minangkabau pulang dari Mekah pada tahun 1803, untuk mereformasi Islam, yang memiliki kesempatan menyaksikan kekacauan di Minangkabau. Tiga Haji  itu adalah:

Haji Miskin dari luhak Tanah Datar Masjid yang berada di tanah airnya Pandai SikatHaji Piobang dari luhak Lima Puluh KotaHaji Sumaniak dari luhak Agam

Ketiga pria itu pulang ke Minangkabau untuk tujuan Reformasi Islam, dari Syi’ah ke keyakinan Wahabi. Dalam era reformasi ini, ketiganya dibantu oleh lima anak muda yang telah mempelajari Islam secara mendalam. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Nan Tuo dari Cangkiang, Malin Putiah di Aia Tabik, Tuanku Pamansiang dan Peto Syarif di Bonjol atau dikenal sebagai Imam Bonjol. Mereka, pada kenyataannya, lebih dikenal dengan nama “Harimau Nan Salapan” (delapan harimau).

Nama Harimau Nan Salapan terhormat untuk mereka, dalam kasus jalan mereka dalam reformasi Islam waktu itu diduga berada di kekerasan yang benar-benar melawan oleh kelompok-kelompok adat. Delapan harimau ini kemudian dikenal dengan “Harimau Nan Sambilan” (sembilan harimau), sejak Tuanku Rao menjadi anggota kelompok yang datang dari Rao Pasaman. Di samping ahli agama, mereka juga pengembang Silek Minangkabau.

Warisan Silek “Langkah Tigo” (tiga anak tangga) atau SilekTuo (Silek tua) mulai menjadi berwarna diskusi pendapat pendidikan Islam. Dari situs ini, daripada nama dan corak bervariasi dari Silek di Minangkabau mulai berkembang, pada umumnya adalah disempurnakan oleh kekuatan rohani melalui diskusi dan aktivitas ritual dilakukan berdasarkan pendidikan Islam.

Semakin berkembang daerah dan kebudayaan mereka semakin berkembang corak Silek Minangkabau. Nama Silek ada dan mengembangkan ideologi waktu itu bernama ini pada orang yang mengajar atau di daerah asalnya. Ini dapat dilihat dari beberapa ideologi Silek terkenal di Minangkabau.

Silek Kumango

Kumango adalah daerah di Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Silek ini diciptakan oleh Syech Abdurrahman atau yang terkenal dengan nama Syech Kumango (1825). Di samping ajaran agama, Syech Kumango juga mengajarkan ilmu pertahanan diri Silek Tuo (Silek tua), yang berwarna inspirasi Islam. Sampai dengan saat ini Silek semacam ini telah disebut Silek Kumango, karena guru itu dari Kumango.

Untuk nama ideologi Silek, dari kasus ini, kita dapat menyatakan bahwa hal itu diambil dari nama daerah atau wilayah mana berasal dari orang yang diajarkan itu hanya sebagai salah satu murid Silek Kumango, Malin Marajo, ketika ia mengembangkan Silek semacam ini di Batu Sangkar, ideologi-nya adalah Silek Malin Silek Dipanggil Marajo.

Di samping itu terdapat juga Silek Pakiah Rabun dari Muaro Labuah, Silek Inyiak Uban dari Maninjau, Silek Lintau dari daerah di Lintau Lubuak Jantan Lintau Penuh daerah di Kabupaten Tanah Datar yang dikembangkan oleh Sutan Ahmad Tuanku Laras Lintau di awal dari Abad 19.

Silek Starlak, dari Kamang di Kabupaten Agam dikembangkan oleh Ulud Bagindo Chatib 1865.
Perkembangan Silek sekolah serta nama-nama mereka, bagaimanapun, mempunyai efek yang besar terhadap sejarah tumbuh dari Silek di Minangkabau. Di samping variasi ideologi Silek yang dikembangkan di Minangkabau, telah terjadi penurunan keberadaan pendekar Silek Minangkabau yang benar-benar memahami atau mengetahui sejarah Silek Minangkabau.

Hal ini pada kenyataannya sangat menyedihkan, yang relevan terhadap kemajuan teknologi, sebagian besar masyarakat Minangkabau telah meniru kebiasaan impor dari negara asing dan kurangnya perhatian kaum muda untuk masa depan budaya adat tradisi yang katanya “ndak lapuak dek hujan ndak lakang dek paneh” (abadi)

Dan sehingga pendidikan Silek Minangkabau saat ini tampaknya langka. Hal ini, pada kenyataannya, yang dianggap sebagai sangat rahasia sistem pendidikan Silek itu sendiri, di mana umumnya seorang guru yang akan mengajar muridnya di malam hari, dan demikian juga para pewaris pendidikan itu seperti kata berikut. “kok ndak ado nan nan sajangka cari saeto (jika tidak ada yang sejengkal cari yang sehasta).

Ini berarti dalam menghasilkan ilmu Silek seorang guru tidak bisa mengajarkan kepada setiap orang, tetapi hanya untuk generasi mereka saja (keturunan/kaum mereka) seperti anak, keponakan, atau saudara. Apalagi dalam menghasilkan ilmu berbasis Silek sisi spiritual, ritual diskusi yang disebut “Panaruahan” atau tabungan, itu sebabnya pendekar Silek Minangkabau menjadi semakin berkurang. Ini dapat dibuktikan dengan minimnya pusat pelatihan Silek tradisional di Minangkabau.

Di pusat pelatihan Silek, murid tidak hanya diajarkan ilmu Silek tetapi juga sikap, filosofi kehidupan dan adat dan Budaya Minangkabau. Seorang murid akan disebut “pendekar” ketika dia telah sangat mengetahui dan sangat memahami philosopy kehidupan dan ajaran agama Islam.

Alam Takambang Jadikan Guru

Ini dapat dikatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, para murid akan belajar lebih banyak dari alam dan memiliki rasa hormat yang lebih besar untuk semua hal yang didapatnya.
Ritual ini pendapat “Alam Takambang Jadikan Guru” (alam adalah guru terbaik) memiliki makna yang lebih besar tertutup alam semesta dan itu terkandung dalam pengajaran ilmu pengetahuan Silek. Secara formal, seorang guru Silek juga diajarkan filosofi hidup yang sangat berguna dalam membentuk kepribadian pesilat.Dalam Silek para murid juga diajarkan sikap, kesopanan dan kepribadian batiniah.

Sumber:

http://www.geocities.com/SilekTuo/hal3.htm/paco paco

Advertisements

Populer