Kamis, 21 September 2017

Sejarah Kerajaan Pagaruyung


Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh Raja Adityawarman pada tahun 1343, yang pada awalnya meliputi wilayah bekas Kerajaan Bungo Setangkai dan wilayah bekas Kerajaan Dharmasraya. Sebelum Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, sudah ada Kerajaan-Kerajaan lainnya secara silih berganti antara lain;

1. Kerajaan Pasumayam Koto Batu

Kerajaan ini berpusat di Pariangan di kaki gunung Merapi, berusia kurang lebih 3 abad sebelum Masehi sampai kepertengahan abad ke2 Masehi. Raja yang terkenalnya adalah Sri Maharaja Diraja yang menurut Tambo Alam Minangkabau adalah salah seorang anak dari Sultan Iskandar Zulkarnain yang berasal dari Iskandariyah Mesir. Pada masa pemerintahan Raja Sri Maharaja Diraja inilah dibentuk koto-koto dan nagari-nagari dan disetiap koto dan nagari diangkat datuk-datuk sebagai pemimpin adat dan sekaligus sebagai wakil mutlak dari Daulat Yang Dipertuan Sri Maharaja Diraja di Pariangan. Penyempurnaan susunan adat dan pemerintahan dilakukan oleh anaknya Datuk Ketumanggungan dan saudara tirinya Datuk Perpatih Nan Sebatang dan mamak kandungnya Datuk Suri Dirajo.


2. Kerajaan Lagundi Nan Baselo

Kerajaan Lagundi Nan Baselo berpusat di Pariangan Padang Panjang, berusia dari pertengahan abad ke2 Masehi sampai pertengahan abad ke5 Masehi.


3. Kerajaan Bungo Satangkai

runtuh, maka munculah Kerajaan Bunga Setangkai yang berpusat di Sungai Tarab yang usianya dari pertengahan abad ke 5 Masehi sampai pertengahan abad ke 14 Masehi. Dipimpin oleh rajanya yang bergelar Datuk Ketumanggungan.


4. Kerajaan Dusun Koto Tuo

Bersamaan dengan Kerajaan Bunga Setangkai berdiri pula Kerajaan Dusun Tuo yang berpusat di Lima Kaum, yang dipimpin oleh rajanya yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang. Kerajaan ini tidak berusia panjang hanya sampai akhir abad ke 5 dan kemudian bersatu dengan Kerajaan Bunga Setangkai. Rajanya kemudian diberi kebesaran Gajah Gadang Patah Gadiang.


5. Kerajaan Dharmasraya

Bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Bunga Setangkai, disepanjang Batang Hari didirikan pula Kerajaan Dharmasraya yang raja-rajanya pun berasal dari Pariangan Padang Panjang. Salah seorang Rajanya yang terkenal adalah Tri Buwana Raja Mauliwarmadewa berkawin dengan Puti Lenggogeni dari Kerajaan Bunga Setangkai Sungai Tarab dan melahirkan 3 orang anak iaitu:

1. Puti Parameswari atau lebih dikenal dengan nama Puti Dara Jingga, Ibunda dari Raja Adityawarman,

2. Puti Indraswari atau lebih dikenali dengan Puti Dara Petak, ibdari PrabuPrabu Jayanegara.

3. Raja Parameswara yang dikenal juga dengan nama Akarendrawarman yang dalam tambo lebihdikenal dengan Tuanku Raja Muda.

Raja Adityawarman dilahirkan pada tahun 1295 Masehi di Majapahit. Dia dibesarkan dan dididik di Majapahit dan pernah menjabat jawatan tinggi di Majapahit sebagai Senopati Utama ( panglima utama dari tentera Majapahit ) Pada waktu Prabu Jayanegara diculik oleh pemberontakan Rakuti dan tidak diketahui jejaknya, Caturakriyan dan Sapta Menteri Kerajaan Majapahit telah bersepakat untuk menobatkan Raja Adityawarman sebagai Raja Majapahit menggantikan Prabu Jayanegara. Beberapa hari sebelum dilakukan penobatan Patih Gajah Mada berhasil menemukan dan membebaskan Prabu Jayanegara darisekapan pemberontakan Rakuti sehingga Raja Adityawarman tidak jadi dinobatkan sebagai Raja Majapahit.

Berikutan itu Prabu Jayanegara telah mengangkat Raja Adityawarman sebagai duta besar mengelilingi Majapahit bertujuan untuk memperbaiki hubungan persahabatan dengan Kerajaan Monggol dengan Kerajaan China, dengan Kerajaan di Hindia Belakang dengan Kerajaan Sri Langka dan India, bahkan sempat berkunjung ke Kerajaan Madagaskar. Masa tugasnya ini dilakukannya dari tahun 1336 sampai 1341 Masehi. Sekembalinya

Adityawarman di Majapahit, Raja Majapahit sudah dipangku oleh Tri Buwana Tunggadewi, dan harapan Raja Adityawarman untuk menjadi Raja diMajapahit pupuslah sudah dan dia kemudian meminta izin kepada adiknya Tri Buwana Tunggadewi untuk pulang keMinangkabau, Kerana secara matrilineal dia mempunyai hak untuk menjadi Raja diKerajaan Bunga Setangkai.

Setibanya di Kerajaan Bunga Setangkai, permintaan Adityawarman untuk menjadi Raja diKerajaan Bunga Setangkai pada awalnya mendapat penolakan dari mamaknya dan pembesar-pembesar Kerajaan Bunga Setangkai. Dengan sedikit menggunakan kekuatan yang dibawanya dari Majapahit akhirnya Raja Adityawarman diterima sebagai Raja dari Kerajaan Bunga Setangkai. Mamaknya yang merupakan bekas Raja Kerajaan Bungo Setangkai diangkat sebagai Perdana Menteri dengan sebutan Tuanku Panitahan Sungai Tarab dengan gelar Datuk Bandaro Putiah.

Tidak berapa lama sesudah itu, pada tahun 1347 Masehi, Raja Adityawarman memindahkan pusat Kerajaan dari Sungai Tarab ke nagari Ulak Tanjuang Bungo di kaki bukit Batu Patah yang kemudian dikenal dengan nama Pagaruyung.

Suku bangsa Minangkabau berasal dari berbagai etnis antara lain, orang Melayu dari Hindia Belakang, orang Melayu dari pergunungan Himalaya, orang Monggol tua (Proto Malay), orang Monggol baru ( Neo Malay), orang Tamil dari India, orang Gujarat dari India, orang Parsi, orang Arab, orang Negro, orang Yahudi, bahkan ada juga yang dari keturunan Eropah. Mereka datang keMinangkabau menetap dalam komuniti-komuniti baru yang menerima secara penuh adat dan budaya Minangkabau dan tunduk kepada pemerintahan Raja-Rajanya. Komuniti dari berbagai etnis yang menerima dan menerapkan adat Minangkabau inilah yang disebut sebagai orang Minangkabau.


SILSILAH RAJA-RAJA PAGARUYUNG

1)       Raja Adityawarman
2)       Raja Ananggawarman
3)       Raja Vijayawarman
4)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Bakilap Alam Sultan Alif 1 Yamtuan Raja Bagewang
5)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Siput Aladin
6)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Ahmad Syah Yamtuan Raja Barandangan
7)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Alif ll Yamtuan Khalif
8)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Bagagar Alamsyah Yamtuan Raja Lembang Alam.
9)       Daulat Yang DiPertuan Sultan Alam Muningsyah l Yamtuan Raja Bawang.
10)   Daulat Yang DiPertuan Malenggang Alam Yamtuan Rajo Naro.
11)   Daulat Yang DiPertuan Sultan Alam Muningsyah ll Yang DiPertuan Sultan Abdul Fatah Yamtuan Sultan Abdul Jalil l.
12)   Daulat Yang DiPertuan Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah Yamtuan Hitam.
13)   Daulat Yang DiPertuan Sultan Abdul Jalil ll Yang DiPertuan Garang Yang DiPertuan Sultan Abdul Jalil.
14)   Daulat Yang DiPertuan Puti Reno Sumpu Yang Didertuan Berbulu Lidah


MASA KEJAYAAN KERAJAAN PAGARUYUANG

Masa kegemilangan Kerajaan Pagaruyung berlangsung selama tiga setengah abad, dari pertengahan abad ke 15 sampai akhir abad ke 18. Dimulai dari zaman pemerintahan Sultan Bakilap Alam sampai dengan pemerintahan Sultan Alam Muningsyah l ( Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Muning ) Kegemilangan ini ditandai dengan:

A. Bertumbuh pesatnya usaha pertanian rakyat dalam bentuk pertanian padi, merica, kopi, kayu manis.

B. Pesatnya pendulangan dan perdagangan emas diseluruh wilayah Kerajaan Pagaruyung,

C. Dikirimkannya ulama-ulama besar untuk mengislamkan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Filipina (kesultanan Manila, Sulu, Mindanao, dan Palalawan), kesemenanjung melayu dan Champa.

D. Terbinanya dengan baik hubungan Kerajaan Pagaruyung sebagai pusat alam Minangkabau dengan kerajaan-kerajaan bawahannya yang disebut dengan Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan yang merupakan bagian dari Kerajaan Pagaruyung. Bentuk hubungan yang dipakai, campuran antara hubungan pemerintah pusat dengan negara bagian dan antara pemerintah pusat dengan kerajaan persemakmuran (commonwealth) Kerajaan-kerajaan Sapiah Balahan itu adalah:

1)       Kerajaan Padang Nunang Rao di Pasaman,

2)       Kerajaan Parit Batu di Pasaman Barat,

3)       Kerajaan Kinali di Pasaman Barat,

4)       Kerajaan Talu di Pasaman Barat,

5)       Kerajaan Kumpulan di Pasaman Timur,

6)       Kerajaan Mandailing di Penyabungan,

7)       Kerajaan Kota Pinang di Labuhan Batu,

8)       Kerajaan Panai di Padang Lawas,

9)       Kerajaan Asahan di Asahan,

10)   Kerajaan Kuala Pilah di Labuan Batu,

11)   Kerajaan Perbaungan di Serdang,

12)   Kerajaan Barus di Barus,

13)   Kerajaan Seribu Dolok di Tapanuli.

14)   Kerajaan Tiku di Tiku,

15)   Kerajaan Pariaman di Padusunan,

16)   Kerajaan Sunua di Kurai Taji,

17)   Kerajaan Koto Tinggi Pakandangan di Koto
         Tinggi.

18)   Kerajaan Pauah dan Padang,

19)   Kerajaan Ampek Angkek Canduang terdiri dari:
         a)  Datuk Bandaro Panjang, Raja di Biaro  
               Balai Gurah melimpah ke Tanjuang
               Alam, Batu Taba, Ampang Gadang dan
               Pasia.
         b)  Datuk Mangiang di Panampuang, Raja
          Panampuang Canduang dan Lambah    
          melimpah ke Tilatang Kamang.

20)   Kerajaan Sungai Pua dan Banuhampu
         dipimpin oleh Datuk Tumanggung
         Kampuang Basa,

21)   Kerajaan Ampek Koto dipimpin Tuanku
         Inyiak nan Bagombak di Koto Gadang,

22)   Kerajaan Rajo yang Balimo di luak Limo
         Puluah Koto, terdiri dari :
          1. Rajo Luak Limo Puluah di Kampuang
               Dalam  Aia Tabik Payakumbumbuh.
          2. Rajo di Ulu di Situjuah Banda Gadang.
          3. Rajo di Lareh di Sitanang Muaro Lakin.
          4. Rajo di Sandi di Koto nan Gadang
              Payakumbuh.
          5. Rajo di Ranah di Guguak Talago Gantiang

Kelima raja ini dibantu oleh Niniak nan Barampek dan Kambuik Baniah Tampang Pusako iaitu:
-  Datuk Majo Indo Niniak nan Barampek di Andiang Limbanang,
-  Datuk Suri Dirajo Niniak nan Barampek di Mungka,
-  Datuk Bandaro Sati Niniak nan Barampek di Mahek,
-  Datuk Rajo Di Balai Niniak nan Barampek di Muara Takus,
-  Datuk Sibijayo Kambuik Baniah Tampang Pusako di Pangkalan.

23)   Kerajaan Dalu-Dalu di Tambusai,
24)   Kerajaan Rambah di Pasir Pangarayan.
25)   Kerajaan Patapahan.
26)   Kerajaan Siak Sri Indrapura.
27)   Kerajaan Gunung Sahilan di Riau.
28)   Kerajaan Palalawan.
29)   Kerajaan Singingi di Muara Lembu.
30)    Kerajaan Kuantan Rantau nan Kurang Aso Duo Puluah.
31)   Kerajaan Baserah.
32)   Kerajaan Cerenti.
33)   Kesultanan Indragiri.
34)   Kesultanan Muda Lingga.
35)   Kesultanan Muda Pulau Penyegat.
36)   Kerajaan Keritang di perbatasan Riau dan Jambi.
37)   Kerajaan Lubuk Kepayang di Jambi.
38)   Kerajaan Teratak Air Hitam di Jambi.
39)   Kerajaan Tanah Pilih di Talanaipura Jambi.
40)   Kerajaan Tanah Basam Basemah.
41)   Kerajaan Limun Batang Asai Jambi.
42)   Kerajaan Tamiai di Kerinci.
43)   Kerajaan Tanah Sikudung di Kerinci.
44)   Kerajaan Kuto Basa Abai Siat Dharmasraya.
45)   Kerajaan Siguntur di Dharmasraya.
46)   Kerajaan Sitiung di Dharmasraya.
47)   Kerajaan Padang Laweh di Dharmasraya.
48)   Kerajaan Pulau Punjuang di Dharmasraya.
49)   Kerajaan Jambu Limpo Lubuak Tarok di Sijunjung.
50)   Kerajaan Pulau Kasiak di Alahan Panjang.
51)   Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.
52)   Kerajaan Rantau Duo Baleh Koto.
53)   Kerajaan Lubuak Malako.
54)   Kerajaan Sangir Balai Janggo di Sungai Kunyit.
55)   Kesultanan Indropuro dengan bawahannya raja-raja Bandar Sepuluh.
56)   Kerajaan Muko-Muko.
57)   Kerajaan Sebelat.
58)   Kerajaan Ketaun.
59)   Kerajaan Sungai Limau di Bengkulu.
60)   Kerajaan Rindu Hati Kepayang di Bengkulu.
61)   Kerajaan Ranah Sikalawi Sungai Ngiang di Rajang Lebong.
62)   Kerajaan Sekala Brak di Lampung.
63)   Kerajaan Negeri Sembilan di Tanah Melayu.
64)   Kesultanan Mempawa Kalimantan Barat.
65)   Kesultanan Kota Waringin Pangkalan Bun di      Kalimantan Tengah.
66)   Kesultanan Manggarai di Flores.



Bahkan Kerajaan Pagaruyung juga mempunyai hubungan sejarah dan kekerabatan dengan Kesultanan Gowa Tallo, Kesultanan Bima, Kesultanan Dompu, Kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Ternate. (marisma.multiply.com/journal/item/48)

Seluruh Kerajaan-Kerajaan Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan Kerajaan Pagaruyung Darul Qorror tersebut, disusun tata pemerintahannya sebagai berikut :

Sebagai pucuk tertinggi dari Kerajaan Pagaruyung adalah Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung Darul Qorror dengan gelar Sultan Maharaja Sakti, bertahta dan bersemayam di Istano Silinduang Bulan Pagaruyung Darul Qorror, beliau di bantu oleh dua orang tangan kanannya iaitu:

1. Yang DiPertuan Raja Adat bertahta dan bersemayam di Buo, mengurus masalah-masalah adat.

2. Yang DiPertuan Raja Ibadat Sumpur Kudus, bertahta dan bersemayam di Sumpur Kudus, khusus mengurus masalah-masalah ibadat (agama).

Bilamana masalah-masalah adat dan agama tidak dapat di selesaikan oleh Raja Adat dan Raja Ibadat, maka keputusan terakhir (biang cabiak gantiang putuih) tetap berada di tangan Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung.

Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung mempunyai tiga orang penasihat yang disebut dengan " Niniak Nan Batigo " atau Rajo Tigo Selo. Yaitu :

1.  Datuk Bandaro Putiah Sungai Tarab, Pucuak Bulek Urek Tunggang kelarasan Koto Piliang.

2. Datuk Bandaro Kuniang di Lima Kaum, Pucuak Bulek Urek Tunggang kelarasan Bodi Caniago.

3. Datuk Suri Dirajo di Pariangan, Pucuak Bulek Urek Tunggang kelarasan Lareh nan Panjang ( Lareh nan Bunta )

Dalam melaksanakan kekuasaan dan kedaulatannya Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung mempunyai kabinet yang terdiri dari Basa Ampek Balai dan Langgam Nan Tujuah.


Basa Ampek Balai

1. Tuan Panitahan di Sungai Tarab dijabat oleh Datuk Bandaro Putiah, beliau berfungsi sebagai Perdana Menteri atau disebut juga Pamuncak Koto Piliang.

2. Tuan Indomo Saruaso berfungsi sebagai Menteri utama di bidang politik, pemerintahan dan adat. Disebut juga sebagai Payung Panji Koto Piliang.

3. Tuan Makhudum Syah di Sumanik, berfungsi sebagai Menteri utama dibidang perekonomian, kewangan serta hubungan luar negeri, beliau juga disebut sebagai Aluang Bunian Koto Piliang.

4. Tuan Kadhi Padang Gantiang, berfungsi sebagai Menteri utama dalam bidang pendidikan dan agama, beliau juga disebut sebagai Suluah Bendang Koto Piliang.


Tujuh Menteri kembar yang disebut dengan sebutan Langgam Nan Tujuah, terdiri dari:

1. Tampuak Tangkai Koto Piliang, berkedudukan di Pariangan dan Padang Panjang, mempunyai tugas khusus dibidang adat dan kebudayaan.

2.  Pasak Kungkuang Koto Piliang berkedudukan di Sungai Jambu dan Labuatan, mempunyai tugas khusus dibidang keamanan.

3. Perdamaian  Koto Piliang berkedudukan di Simawang dan Bukit Kanduang, mempunyai tugas khusus dibidang pengadilan.

4. Cemeti Koto Piliang berkedudukan di Sulik Aia dan Tanjung Balik mempunyai tugas khusus dibidang kejaksaan dan mengurus orang-orang hukuman.

5. Camin Taruih Koto Piliang berkedudukan di Singkarak dan Saniang Baka, mempunyai tugas khusus di bidang penyiasatan ( inteligen dan penelitian )

6. Harimau Campo Koto Piliang, berkedudukan di Batipuah dan Sepuluh Koto, mempunyai tugas khusus sebagai panglima hulubalang di utara dan barat Minangkabau.

7. Gajah Tongga Koto Piliang, berkedudukan di Silungkang dan Padang Sibusuak, mempunyai tugas sebagai panglima hulubalang untuk sektor selatan dan timur.


Khusus di daerah kelarasan Bodi Caniago dan kelarasan Lareh nan Panjang diberikan pula semacam otonomi khusus, seperti Datuk Bandaro Kuniang Pucuak Bulek Urek Tunggang kelarasan Bodi Caniago yang disebut juga Gajah Gadang Patah Gadiang, memimpin wilayah yang disebut V Kaum Xll Koto

Batanjuang nan Ampek :
1.  Tanjuang Bingkuang Limo Kaum.
2.  Tanjuang Alam Tabek Patah.
3.  Tanjuang Sungayang.
4.  Tanjuang Barulak.

Balubuak nan Tigo:
1.   Lubuak Sikarah Solok Selayo
2.   Lubuak Sipunai Tanjung Ampalu.
3.   Lubuak Simawang Talawi.

Sementara Datuk Suri Dirajo sebagai Pucuak Bulek Urek Tunggang kelarasan Nan Panjang mempunyai wilayah sederetan gunung Merapi ( Pariangan, Padang Panjang, Guguak dan Sikaladi ) sealiran Batang Bangkaweh ( Simabua, Batu Basa, Sialahan, Padang Magek, Tigo Koto, Balimbiang, Sawah Kareh )

Khusus dilingkungan Istana Pagaruyung Darul Qorror, Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung mempunyai pembantu-pembantu khusus yang disebut dengan Datuk yang Batujuah di Pagaruyung iaitu:

1.    Datuk Simarajo urusan rumah tangga istana.

2.    Datuk Bijayo urusan kewangan istana.

3.   Datuk Puti Janik urusan protokol istana.

4.   Datuk Rajo Lelo urusan keamanan istana.

5.   Datuk Rajo Malano urusan agama istana.

6.   Datuk Rajo Panghulu urusan adat istiadat
       Istana.

7.   Datuk Rajo Aceh juru bicara istana.

disamping itu banyak lagi jabatan-jabatan khusus di istana seperti Hulubalang Istana, Khatib Istana, Imam Istana, Ajudan Raja, Pengawal Raja dan lain-lain.

MASA KELAM
Semenjak tahun 1403 di zaman pemerintahan Sultan Bakilap Alam, kerajaan Pagaruyung Darul Qorror telah dinyatakan sebagai kerajaan Islam dengan pegangan Syiah Karamithah ( yang faham keagamaannya merupakan gabungan dari fahaman Ahli Sunnah wal Jamaah dengan fahaman Syiah ) Fahaman Islam Karamithah inilah yang telah disebar ke hampir seluruh Nusantara, Semenanjung Melayu, bahkan sampai ke Filipina. Faham keagamaan inilah yang kemudiannya di pertentangkan oleh gerakan Paderi yang berfahaman Wahabi yang dibawa oleh tiga orang ulama Minangkabau setelah belajar Islam di Makkah iaitu Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik.

Akibat pertentangan kerajaan Pagaruyung yang berfahaman Syiah Karamithah dengan kaum Paderi yang berfahaman Wahabi, terjadilah pertentangan dan pergolakan  diantara keduanya yang memberikan kesempatan besar kepada kolonialis Belanda untuk mengadu domba kedua-duanya dan setelah kedua-duanya lemah kemudian mereka menghancurkannya dan menguasainya.

Secara resmi Kerajaan Pagaruyung mengalami kehancuran pada tahun 1833 pada saat ditangkapnya Daulat Yang DiPertuan Pagaruyung Sultan Alam Bagagarsyah yang dinyatakan sebagai penjahat perang oleh pemerintah kolonialis Belanda dan dibuang ke Betawi ( Batavia sekarang ini Jakarta ) Sepeninggalan Sultan Alam Bagagarsyah , perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh adik sepupunya, sekali gus adik iparnya Sultan Abdul Jalil Yang DiPertuan Sembahyang yang memegang jabatan Daulat Yang DiPertuan Alam Pagaruyung , Raja Adat Buo dan Raja Ibadat Sumpur Kudus sekaligus.

Sultan Abdul Jalil Yang DiPertuan Sembahyang pernah diajak berunding dan dipujuk oleh Belanda dan akan diakui sebagai Daulat Yang DiPertuan Raja Pagaruyung dan akan diberikan elaun yang besar iaitu empat ribu sampai lima ribu Gulden sebulan dan akan dibangunkan istana yang megah di kota Padang ( tidak di Pagaruyung ) Semua itu ditolaknya dan terus memimpin  perlawanan secara bergerila (gerakan bawah tanah) dengan pangkalannya di Buo kemudian pindah ke Sumpur Kudus, pindah ke Ampalu, pindah lagi ke Pangkalan Koto Baru, pindah ke Tanjung Gadang, kemudian pindah ke Muara Lembu Singigi dan akhirnya mangkat di Muara Lembu Singigi pada tahun 1899.

Sultan Abdul Jalil Yang DiPertuan Sembahyang digantikan oleh anak perempuannya dari isterinya Puti Reno Sori Yang DiPertuan Gadih Puti Reno Aluih. Anak tersebut bernama Yang DiPertuan Gadih Puti Reno Sumpu.

Yang DiPertuan Gadih Puti Reno Sumpu inilah yang oleh pemerintah Hindia Belanda dijemput dari Muara Lembu Singigi dan didudukkan kembali di Pagaruyung sebagai Daulat Yang DiPertuan dibidang adat saja dan dibuatkan istana baru di tapak Istana Silinduang Bulan yang dibakar Paderi pada tahun 1808. Tidak mempunyai kekuasaan dan kedaulatan dalam pemerintahan.

Keturunan Yang DiPertuan Gadih Puti Reno Sumpu inilah sekarang merupakan pewaris-pewaris Daulat Yang DiPertuan Raja Alam Pagaruyung. ( Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH Tuanku Mudo Mahkota Alam dan Sutan Ahmad Riyadh ).

( Sumber dari YM Puti Reno Raudhah - Tuan Gadih Pagaruyung ).



Kerajaan Batu Patah


Setelah meninggalnya Raja Sri Maharaja Diraja, posisi raja di gantikan oleh adiknya Suri Dirajo bersamaan dengan kepergian Tumangguang dan Perpatih ke Kandis dan bergabung di Kerajaan Koto Alang.

Anak dari Suri Dirajo yang bernama Sutan Nun Alam hendak menyusulnya namun perahunya kandas di sebuah pulau yang baru terlihat, lama ia berdiam di sana dan memutuskan bertapa disana. lambat laun pulau ini makin luas terlihat, maka mulailah ia mendirikan pondokan dan akhirnya ramai orang datang dan menetap di sana. Selanjutnya kembali ke Pariangan mengabarkan jika dirinya tidak jadi menyusul saudara mereka, lantas minta ijin untuk menetap di Batu Patah tempat yang ia temukan.

Lambat laun setelah air laut mulai menyusut ramailah orang berduyun duyun tinggal disana. Karena kearifan budi dan tinggi ilmu agamanya. kemudian ia mendirikan Kerajaan Batu Patah

Menurut catatan sejarah tertulis bahwa Kerajaan Bukit Batu Patah adalah kerajaan yang sudah ada di Minangkabau sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung dan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Pasumayan Koto Batu yang terletak di Kabupaten Tanahdatar sekarang. Kerajaan Bukit Batu Patah didirikan oleh Sutan Nun Alam yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Yang Dipertuan Kerajaan Bungo Satangkai, Datuk Bandaro Putiah.

Pada masa kerajaan Bukit Batu Patah dibentuklah Rajo Nan Duo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Nan Duo Selo tersebut adalah Rajo Alam yang berkedudukan di Bukit Batu Patah dan Rajo Adat yang berkedudukan di Bungo Satangkai. Sedangkan Basa Ampek Balai adalah Bandaro yang berkedudukan di Sungaitarab, Makhudum di Sumanik, Indomo di Sarauso, dan Tuan Gadang di Batipuh.

Kedudukan Sutan Nun Alam sebagai raja kemudian digantikan oleh Run Pitualo. Selanjutnya diganti lagi oleh Maharajo Indo. Semasa pemerintahannya pusat kerajaan Bukit Batu Patah dipindahkannya ke kaki Bukit Batu Patah atau di sekitar Nagari Pagaruyung sekarang. Pada masa pemerintahannya pula, agama Islam sudah masuk ke wilayah Minangkabau bagian Timur.

Maharajo Indo kemudian digantikan oleh Yang Dipertuan Sati. Semasa pemerintahannya Rajo Nan Duo Selo dilengkapi dengan Rajo Ibadat menjadi Rajo Tigo Selo.

Dalam tambo minang, pada masa pemerintahan Nun Alam / Dang Tuangku ia hijrah ke arah Indera Pura untuk bertenang setelah berhasil mengawini Puti Bungsu, dan pemerintahan ia serahkan kepada adiknya dari hasil pernikahan ayahnya dengan dayang istana yang bergelar Cindua Mato/ Run Pitoalo.

Sri Raja Run Pitoalo cukup lama memerintah sehingga anak dari Dang Tuangku merasa sudah cukup memerintah, selanjutnya ia serahkan tampuk pemerintahan kepada kemenakannya yang bergelar Maharajo Indo. Demikian seterusnya, hingga tanah kekuasaan Maharajo Indo kian berkembang dimassnya. ( Muhamad Subari)

Selasa, 12 September 2017

Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai, Langgam Nan Tujuah



Sekilas Tentang Kedudukan Raja dalam Kelarasan Koto Piliang

Dalam khazanah kelarasan Koto Piliang dikenal lembaga-lembaga yang bernama Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Lembaga-lembaga ini sudah ada sejak kelarasan Koto Piliang didirikan, berlanjut sampai masa pemerintahan Pagaruyung dan seterusnya.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, kelarasan Koto Piliang tampak mendominasi struktur dan gaya pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang aristokratis sesuai nilai-nilai dan falsafah yang dianut kerajaan-kerajaan Jawa. Nilai nilai feodal, sentralistik, otokratis dan aristokratis ini dibawa oleh Adityawarman yang kemudian dirajakan sebagai salah satu anggota Rajo Tigo Selo.

Kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuak Katumanggungan ini memang berpandangan bahwa lembaga raja dalam hal ini Rajo Tigo Selo sangat dihormati. Kedudukan raja berada diatas segalanya menurut adat Koto Piliang.

Oleh sebab itu di daerah rantau yang rajanya (raja-raja kecil) ditunjuk langsung oleh Pagaruyung sebagai perwakilan disana, aturan dan madzhab ketatanegaraan Koto Piliang sangat mendominasi. Sebagai contoh adalah di Rantau Pasaman nagari-nagari seperti Talu, Pasaman, Lubuk Sikaping, Rao , Cubadak dan Kinali diperintah oleh raja-raja kecil dengan sistem kelarasan Koto Piliang

Dimana pergantian kepemimpinan dilakukan secara turun temurun layaknya sistem monarki kerajaan.

Berikut adalah raja-raja kecil yang memerintah di nagari-nagari tersebut:
* Daulat Parik Batu di Pasaman
* Tuanku Bosa di Talu
* Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
* Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
* Daulat Yang dipertuan di Kinali
* Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao

Berbeda halnya dengan kelarasan Koto Piliang yang mendudukkan raja di atas segalanya, kelarasan Bodi Caniago memposisikan raja dan lembaga raja hanya sebagai simbol pemersatu. Akibatnya walaupun kelarasan ini memiliki 7 daerah istimewa beserta pemimpin pemimpinnya, tidak ada bagian struktur kelarasan ini yang menyatu secara struktural dengan pemerintahan Kerajaan Pagaruyung.

Daerah-daerah penganut kelarasan Bodi Caniago tersebar di Luhak Agam,  Luhak Limopuluah, Solok dan sebagian kecil nagari di Luhak Tanah Datar (ex: Tanjung Sungayang). Daerah-daerah ini menganut kultur egaliterian dan anti sentralisme kekuasaan. Terbukti sebagian daerah-daerah di wilayah ini menjadi pendukung gerakan PRRI tahun 1957-1960 sebagai reaksi atas kebijakan sentralistik dari pusat kekuasaan di Jawa.

Daerah-daerah wilayah ini pula yang paling bersemangat untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari setelah periode reformasi.

Dinamika Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai

Pada awalnya Langgam Nan Tujuah beranggotakan sebagai berikut:
* Pamuncak Koto Piliang (Pemimpin Langgam  Nan Tujuah) berkedudukan di Sungai Tarab.
* Salapan BatuaPerdamaian Koto Piliang (Juru Damai Sengketa antar Nagari) berkedudukan di Simawang Bukik Kanduang.
* Pasak Kungkuang Koto Piliang (Keamanan Dalam Negeri) berkedudukan di Sungai Jambu.
* Lubuak AtanHarimau Campo Koto Piliang (Panglima Perang) berkedudukan di Batipuah.
* Sapuluah KotoCamin Taruih Koto Piliang (Badan Penyelidik) berkedudukan di Singkarak Saniang Baka.
* Cumati Koto Piliang (Pelaksana Hukum) berkedudukan di Tanjung Balik  Sulik Aia.
* Gajah Tongga Koto Piliang (Benteng Selatan) berkedudukan di Silungkang Padang Sibusuak.

Rajo Tigo Selo
Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi yang disebut Limbago Rajo, masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja.

Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan.  Pada awalnya institusi untuk Raja Alam dan Raja Adat disebut sebagai Rajo Duo Selo, namun setelah agama Islam masuk ke Minangkabau diangkatlah Raja Ibadat.


Rajo Tigo Selo Pada Masa Pagaruyung

Pada masa pemerintahan Pagaruyung terdapat tiga istana untuk ketiga Raja yaitu :

Istana Ateh Ujuang di Balai Janggo tempat bersemayam Raja AdatIstana Balai Rabaa di Gudam tempat bersemayam Raja AlamIstana Ekor Rumpuik di Kampuang Tangah tempat bersemayam Raja  Ibadat. Akan tetapi Raja Alam berkedudukan di PagaruyuangRaja Adat berkedudukan di Buo, Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus

Basa Ampek Balai
Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung Rajo Tigo Selo  dibantu pula oleh dewan menteri sejumlah, yakni empat orang yang disebut Basa Ampek Balai yang mempunyai tugas dan kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung.

Pada awalnya Basa Ampek Balai beranggotakan sebagai berikut:
* Tuan Gadang di Batipuah.
* Harimau Campo Koto Piliang.
* Datuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab.
* Pamuncak Alam Koto Piliang.
* Machudum di Sumaniak.
* Aluang Bunian Koto PiliangIndomo di Saruaso, Payuang Panji Koto Piliang

Setelah kuatnya agama Islam maka dirasa perlu untuk menambahkan pemimpin di bidang agama. Oleh karena itu struktur Basa Ampek Balai berubah menjadi :
* Datuak Bandaro Putiah di Sungai Tarab, Pamuncak Alam Koto Piliang.
* Machudum di Sumaniak.
* Aluang Bunian Koto PiliangIndomo di Saruaso.
* Payuang Panji Koto Piliang.
* Tuan Kadi di Padang Gantiang, Suluah Bendang Koto Piliang

Pada awalnya Tuan Gadang di Batipuah berdiri sendiri, namun kemudian menjadi bagian dari Basa Ampek Balai. Setelah Tuan Kadi menjadi anggota Basa Ampek Balai, Tuan Gadang kembali keluar dari struktur namun tetap memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur pemerintahan Pagaruyung.

Ini disebabkan karena Tuan Gadang membawahi Nagari Batipuh yang merupakan nagari raksasa pada zaman itu, yang luas wilayahnya puluhan kali lipat dari nagari-nagari sekitar. Bahkan diantara orang-orang besar itu, hanya Tuan Gadang Batipuah yang berhak berdiri di hadapan Raja Alam.

Dalam hal pewarisan gelar dan jabatan, waris Raja turun kepada anaknya sedangkan waris  Tuan Gadang, Basa Ampek  Balai dan Langgam Nan Tujuah turun kepada kemenakan.

Sumber: paco paco

Sabtu, 09 September 2017

Kerajaan Siguntur


Kerajaan Siguntur adalah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1.250 pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh kerajaan Pagarurung. Tetapi sampai sekarang ahliwaris Istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar sutan. 
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung di bawah kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur yang mirip dengan dialek Payakumbuh.

Sejarah

Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatera) yang berkedudukan di hulu sungai Batanghari, sungai ini melintasi Provinsi Jambi dengan muara di laut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau Jambi, kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan Malayu, namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau.
Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya Mauliwarmadewa bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasyraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasyraya daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke Dharmasyraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.
Pada abad ke-14, agama Islam masuk ke Kerajaan Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang berganti nama menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya kerajaan Siguntur bernaung di bawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti Kerajaan Siguntur menganut agama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang prinsip syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel kerajaan Siguntur berbahasa Arabh yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari Sultan Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi' 'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan. Pembangunan Mesjid Siguntur
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan menjadi plesteran semen oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Barat Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.

Darmasraya dan kerajaan-kerajaan penerus

Kerajaan Siguntur, yang mengklaim masih turunan Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikat Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya.
Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur, mengatakan pihaknya juga meminta didirikan museum mini di tepi Sungai Batanghari di Siguntur untuk tempat menyimpan benda-benda sisa Kerajaan Dharmasraya.
"Bila museum mini ini terwujud, sekaligus sebagai pusat informasi peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur." katanya.
Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang yang membawahi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, setuju dengan rencana pihak Kerajaan Siguntur.
"Dharmasraya tak hanya kekayaan arkeologis Sumatera Barat, tetapi Indonesia. Pendirian museum di Kabupaten Dharmasraya ini bagus agar harta kerajaan yang tersimpan di masing-masing kerajaan tidak hilang, sebab dikhawatirkan kalau disimpan sendiri-sendiri lama-lama hilang," ujarnya.
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto BesarKerajaan Pulau PunjungKerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno.

Peninggalan

Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut tari toga (tari larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.
Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908, dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Hindia Belanda dan raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk tari toga.
"Tari toga nyaris hilang, tari itu sudah lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua dendang tari toga karena sejak tidak lagi berdendang, ia sering melantunkan dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan tari toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Tari toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.

Raja-Raja Siguntur

Periode Hindu-Buddha

1.   Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290)
2.   Sora (Lembu Sora) (1290-1300)
3.   Pramesora (Pramesywara) (1300-1343)
4.   Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347) - bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
5.   Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397)
6.   Guci Rajo Angek Garang (1397-1425)
7.   Tiang Panjang (1425-1560)

 

Periode Islam

1.   Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650)
2.   Sultan Abdul Qadir (1650-1727)
3.   Sultan Amiruddin (1727-1864)
4.   Sultan Ali Akbar (1864-1914)
5.   Sultan Abu Bakar (1914-1968)
6.   Sultan Hendri (1968-sekarang) — hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.

Referensi

·         (Indonesia) Situs web Padang Kini
·         (Indonesia) Harian Umum Pelita
·         (Indonesia) Situs web Info Anda


Sumber :  Wikipedia bahasa Indonesia.

Kerajaan Koto Alang




Kerajaan Koto Alang adalah sebuah kerajaan yang berdiri di atas keruntuhan Kerajaan Kandis di Kuantan Singingi (Riau) sekitar abad 2 Masehi.
Berdasarkan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).
“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk di bawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatera Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk Tomo.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning di dalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal, masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun 1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas di dalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Provinsi Riau tersebut.


Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Kedatangan Orang Minangkabau

berbagaireviews.com

Dari zaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Suma­tera Barat dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walau­pun masyarakat Mentawai diduga te­lah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sa­ngat sedikit.

Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban di wilayah Luhak Nan Tigo (Lima Puluh Kota, Agam, Tanah Datar) sekarang.

berbagaireviews.com

Mungkin bisa dibilang masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pu­lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.

Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera. 

berbagaireviews.com

Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berba­gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung dan Dharmasraya. Banyak pula di antara me­reka yang menyebar ke bagian barat, teruta­ma ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.

Asal Usul Nama Minangkabau.

Menurut Etimologi Asal Nama Minangkabau.

berbagaireviews.com

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

berbagaireviews.com

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertanggal 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing.[18] Di sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Para Ahli tentang Nama MinangKabau.
  • Prof Van de Tuuk menerangkan bahwa Minangkabau asalnya dari Pinang Khabu yang
  • artinya tanah asal
  • Prof Dr Husein Naimar menyatakan bahwa Minagkabau adalah perubahan fonetik dari
  • menonkhabu bahsa tamil yang artinya tanah pangkal
  • Drs Zuhir Usman bahwa di dalam hikayat raja-raja Pasai Minagkabau diartikan menang
  • adu kerbau
  • Hal ini mendapat bantahan dari Prof. Dr. Purbacaraka karena bersifat legenda.
  • Beliau mengatakan bahwa Minagkabau berasal dari Minanga tamwan artinya pertemuan dua
  • muara sungai.

Asal Usul Menurut Tambo.

berbagaireviews.com

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau. Adityawarman adalah seoranga Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya didominasi agama Buddha. 

Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.

berbagaireviews.com

Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Menurut Peninggalan Arkeologis.

berbagaireviews.com

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun. Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadang, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.

berbagaireviews.com

Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya, berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.

Wilayah, Suku dan Bahasa yang digunakan Sumatera Barat.

Suku ini merupakan salah satu suku yang terkenal dengan cerita rakyatnya yang begitu melegenda di seluruh tanah air. Suku Minang berada di Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi yang terletak di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Padang sebagai ibu kota Sumatera Barat dikenal dengan masakannya yang khas dan dominan bumbu asli dari rempah-rempah Indonesia. Provinsi dengan jumlah penduduk 4.846.909 jiwa ini memang dominan di huni oleh masyarakat yang beretnis Minang, karena itu wajar saja jika Sumatra Barat dikenal lewat suku Minangkabau. 

berbagaireviews.com

Penduduk Sumatera Barat dihuni oleh mayoritas suku Minangkabau. Selain suku Minang, di wilayah Pasaman di huni oleh suku Mandailing dan suku Batak. Awal munculnya penduduk suku tersebut pada abad ke-18 masa Perang Paderi. Daerah Padang Gelugur, Lunang Silaut, dan Sitiung yang merupakan daerah transmigrasi terdapat juga suku Jawa. Sebagian di daerah tersebut terdapat penduduk imigran keturunan Suriname yang kembali memilih pulang ke Indonesia pada akhir 1950-an. Para imigran tersebut di tempatkan di daerah Sitiung. Mayoritas penduduk suku Mentawai juga berdomisili di kepulauan Mentawai dan sangat jarang di temui penduduk suku Minangkabau. Beberapa suku lainnya seperti etnis Tionghoa memilih menetap di kota-kota besar seperti Bukittinggi, Padang, dan Payakumbuh. Suku Nias dan Tamil sendiri berada di daerah Pariaman dan Padang walaupun dalam jumlah yang sedik.



Sumber:  http://www.berbagaireviews.com/2016/07/sistem-kepemimpinan-adat-minangkabau.html

Populer