Kerajaan Siguntur adalah kerajaan yang berdiri
semenjak tahun 1.250 pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini
bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh kerajaan Pagarurung.
Tetapi sampai sekarang ahliwaris Istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar
sutan.
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah
memerintah, kerajaan ini juga bernaung di bawah kerajaan Pagaruyung di bawah
pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah
bahasa Minang dialek Siguntur yang mirip dengan dialek Payakumbuh.
Sejarah
Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak
diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan
sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatera) yang berkedudukan di
hulu sungai Batanghari, sungai ini melintasi Provinsi Jambi dengan muara di
laut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau Jambi,
kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan
Malayu, namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit,
Singasari, dan Minangkabau.
Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan
pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya Mauliwarmadewa bergelar Sri Buana Raya
Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasyraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa
menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa
bersemayam di Dharmasyraya daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain
kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke
Dharmasyraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12
kerajaan Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.
Pada abad ke-14, agama Islam masuk ke
Kerajaan Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang
berganti nama menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya
kerajaan Siguntur bernaung di bawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti
Kerajaan Siguntur menganut agama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang
prinsip syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel
kerajaan Siguntur berbahasa Arabh yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari
Sultan Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur
Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi'
'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah
Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan.
Pembangunan Mesjid Siguntur
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam
Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks
makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat
sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu.
Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri
Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil
bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo
Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku
Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi
lantai masjid dari papan menjadi plesteran semen oleh ahli waris dan masyarakat
setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur
dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi
Sumatera Barat Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain:
pembongkaran atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai.
Kemudian pemasangan kembali yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran
pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta
pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar
tembok.
Darmasraya dan
kerajaan-kerajaan penerus
Kerajaan Siguntur, yang mengklaim masih
turunan Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat
duplikat Arca
Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan
memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum
Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar,
ke Siguntur, Dharmasraya.
Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris
Kerajaan Siguntur, mengatakan pihaknya juga meminta didirikan museum mini di
tepi Sungai Batanghari di Siguntur untuk tempat menyimpan benda-benda sisa
Kerajaan Dharmasraya.
"Bila museum mini ini terwujud,
sekaligus sebagai pusat informasi peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan
Siguntur." katanya.
Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Padang yang membawahi Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Sumatera Selatan, setuju dengan rencana pihak Kerajaan Siguntur.
"Dharmasraya tak hanya kekayaan
arkeologis Sumatera Barat, tetapi Indonesia. Pendirian museum di Kabupaten
Dharmasraya ini bagus agar harta kerajaan yang tersimpan di masing-masing
kerajaan tidak hilang, sebab dikhawatirkan kalau disimpan sendiri-sendiri
lama-lama hilang," ujarnya.
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan
kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya
pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto Besar, Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang
masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno.
Peninggalan
Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian
yang disebut tari toga (tari larangan), sebuah tarian yang
mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari toga menjadi tari resmi
kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala),
pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan
pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.
Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur
pada 1908, dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui
kedaulatan Hindia
Belanda dan raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda
kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan
aktivitas kesenian kerajaan, termasuk tari toga.
"Tari toga nyaris hilang, tari itu sudah
lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya
mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989,"
kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris
Kerajaan Siguntur. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri
Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para
penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek
yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang
kakek masih hafal semua dendang tari toga karena sejak tidak lagi berdendang,
ia sering melantunkan dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau
menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo
agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil
bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat,
sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari
ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan
Siguntur untuk menarikan tari toga," kata sarjana pendidikan seni Institut
Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang)
yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya
itu.
Tari toga modifikasi Marhasnida ini kemudian
ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan
dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung
Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.
Raja-Raja
Siguntur
Periode Hindu-Buddha
1.
Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290)
2.
Sora (Lembu Sora) (1290-1300)
3.
Pramesora (Pramesywara) (1300-1343)
4.
Adityawarman (kanakamedinindra)
(1343-1347) - bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
5.
Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397)
6.
Guci Rajo Angek Garang (1397-1425)
7.
Tiang Panjang (1425-1560)
Periode Islam
1.
Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650)
2.
Sultan Abdul Qadir (1650-1727)
3.
Sultan Amiruddin (1727-1864)
4.
Sultan Ali Akbar (1864-1914)
5.
Sultan Abu Bakar (1914-1968)
6.
Sultan Hendri (1968-sekarang) — hanya sebagai
penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.
Referensi
Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar