Situs ini merupakan bukti mengenai kehadiran
tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan dalam sejarah
Minangkabau sebagai pendiri dari dua keselarasan yaitu Bodi Caniago
dan Koto Piliang. Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan
adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Keduanya bukanlah
merupakan Raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun
kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu Adat
Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang mana bagi masyarakat Minangkabau
sendiri kedudukan yang sedemikian jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan
seorang Raja manapun.
Pitano seorang ahli sejarah mengambil kesimpulan
bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara
tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Parpatih yang
tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama. Dijelaskan selanjutnya
bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Parpatih sebagai salah seorang
terkemuka dari Raja Adityawarman iaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh
Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang. Candi itu adalah
sama dengan Datuk Parpatih Sabatang. Demikian kesimpulannya. Kalaulah pendapat
ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan
Sebatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah
Minangkabau, kerana namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai
peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut
dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Limo
Kaum, BatuSangkar, Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara
Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan
Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan
bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua
tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman.
Situs ini merupakan Medan Nan Bapaneh
yang ditengahnya terdapat Batu Batikam (batu berlubang). Medan
nan bapaneh berupa susunan batu sandar yang terdiri dari batu sandar dan
landasan untuk duduk. Susunan batu sandar tersebut diletakkan di tanah sehingga
membentuk denah persegi. batu sandar ini terbuat dari batu andesit. Batu
tersebut telah mengalami sedikit pengerjaan. Batu batikam berupa batuan andesit
bentuknya segi tiga dan berlubang di bagian tengah. Lubang tersebut menembus di
kedua sisi batu. Batu ini berukuran tinggi 55 cm, tebal 20 cm, dan lebar 45 cm.
Batu ini ditempat dalam susunan batu yang telah disemen (dibuatkan kemudian),
dengan posisi yang bagian runcingnya berada di bawah.
Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk
bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau yang sudah mulai berkembang pada
zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di
Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi. Bahwa
ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang
pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan
gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara
selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah
membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah
Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian
berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang
dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan
nan Bapane. (harryiskandar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar